Soccerconomy – Industrialisasi Sepakbola di Indonesia



Rumor itu akhirnya menjadi kenyataan. Dengan mahar sebesar  23 juta euro, Zlatan Ibrahimovic pindah dari AC Milan ke Paris Saint Germain. Investor Qatar, Nasser Al-Khelaifi kini diyakini memiliki uang tanpa nomor seri setelah menggaji Ibrahimovic dengan nilai fantastis: 14,5 juta Euro setahun.  Dengan kurs KMK minggu ini, berarti Ibra mendapatkan gaji Rp 167,8 Miliar setahun atau sekitar Rp 3,2 Miliar tiap minggunya. Gila? Don’t even think so. Samuel Eto’o lebih gila, gajinya 20,5 juta euro atau mencapai Rp 4,5 Miliar seminggu. Okay, enough for Eto’o. I’m gonna focus on Ibra. Segera setelah PSG resmi merekrut Ibrahimovic, dua menteri Prancis langsung berang dan menganggap gaji ini keterlaluan apalagi melihat pondasi ekonomi eropa yang mulai rontok.

Ibrahimovic dikenalkan di PSG


Di sisi lain, parlemen Prancis sedang menggodok Undang-Undang baru tentang perpajakan yang memungkinkan penduduk dengan gaji di atas 1 juta euro per tahun untuk dipajaki penghasilannya hingga 75 %! Undang-Undang tersebut apabila disahkan tentu saja tidak akan membuat senyum Ibra mengkerut karena dalam klausul kontraknya, gaji sebesar 14,5 juta euro itu after tax. Kesimpulannya, gaji kotor Ibra bisa mencapai 55 juta Euro setahun atau hampir sama dengan jumlah APBD Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora. Gambaran lebih sederhananya yaitu hampir 2,5 kali target penerimaan KPP Pratama Blora tahun ini  Alangkah lucunya dunia.

Jerome Cahuzac, Menteri Keuangan Prancis mengecam gaji Ibra

Tentu saja saya belum akan menyoroti ketimpangan sosial karena gaji Ibra karena jelas harus bikin analisis dan tabulasi bermacam-macam. Saya hanya membayangkan saja potensi pajak yang akan didapat oleh Prancis. Kalo Tukul Arwana mungkin akan berujar, “sensasional, amazing”. Banyaknya pesepakbola dengan gaji mutakhir per tahun jelas akan memudahkan Prancis memenuhi target pajaknya yang 33 Miliar Euro dari realisasi tahun kemarin yang “hanya” 7,2 Miliar Euro. Berkaca dari hal ini, saya jadi tergelitik melihat potensi pajak dari industrialisasi sepakbola di Indonesia.

Macan Asia Tenggara
Indonesia adalah negara yang menerapkan worldwide tax base dalam sistem perpajakannya. Artinya, ketika seseorang sudah menjadi wajib pajak di Indonesia, penghasilannya dari seluruh dunia harus dilaporkan untuk dikenai pajaknya. Bandingkan saja dengan Singapura, Malaysia atau Thailand yang masih mengenakan azas sumber (territorial tax base) dalam penghitungan penghasilan yang menjadi objek pajaknya. Maka, perangkap pertama ini bisa dimanfaatkan dengan baik jika dan hanya jika Liga Indonesia bisa menarik pemain asing untuk main di Indonesia. BAM! Ente tinggal di sini lebih dari 183 hari, monggo jadi wajib pajak lalu dipotong dah pajak ente sama sini…….hehehehe

Schumi, move to switzerland due to income tax rate
(halah, sok keminggris Med)

Lalu kenapa sepakbola Indonesia menarik? Beberapa hari lalu saya membaca artikel tentang orang-orang yang migrasi karena pajak. Salah satunya Michael Schumacher, legenda hidup F1. Schumi, begitu nama panggilannya, memilih berdomisili di Swiss karena tarif pajak di Jerman yang tinggi. Tarif pajak tertinggi di Jerman adalah 45%, di Swiss hanya 11,5%. So, moving to Switzerland is a real deal for Schumacher. Awal tahun 2012 ini, sempat ada rumor eksodus besar-besaran pemain La Liga Spanyol karena rencana kenaikan tarif pajak di sana hingga 52%, lebih tinggi daripada Inggris (50%). Di Indonesia, yang lari ke Singapura memang kebanyakan pengusaha. Contoh terakhir mungkin Sukanto Tanoto, sang pemilik Raja Garuda Mas International yang sempat terseret kasus Asian Agri. Dalam literatur yang saya pelajari waktu mengecap mata kuliah pajak internasional, kebanyakan contoh transfer pricing justru pengusaha yang memindahkan beban pajaknya ke Singapura, bukan San Marino atau Vanuatu yang jelas Tax Haven Country. Logis karena letak geografis yang dekat dan tarif pajak Singapura yang rendah, yakni maksimal 20% bagi individu dan 17% bagi corporate. WOW…

Kosin Sintawechai dan Suchao Nutnum saat di Persib
Kontras sekali, bukan? Mengingat Noh Alam Shah dan Muhammad Ridhuan yang merupakan punggawa timnas Singapura justru malang melintang di Liga Indonesia, ada juga Kosin Sintawechai dan Suchao Nutnum (Thailand) yang pernah main di Persib. Tentu saja saya tidak lupa yang paling anyar, Safee Sali. Magnet sepakbola memang bukan soal pajak, tapi soal penghasilan. Penghasilan superior Safee Sali hingga Rp 3,6 Miliar setahun mungkin saja tidak akan ia dapatkan jika main di negeri sendiri (bandingkan dengan Bambang Pamungkas yang digaji kurang dari 2 Miliar setahun). Namun toh penghasilan juga akan dipajaki, kan? Ini baru pemain dari Asia Tenggara, belum pemain dari benua Eropa dan Amerika yang sudah merambah main di liga.


Selain penghasilan, tentu saja atmosfer sepakbola nasional yang terkenal dengan supporter yang loyal, fanatisme pada klub pastilah menjadi pertimbangan tersendiri. Pemain manapun di Asia pasti salut dengan kecintaan supporter Indonesia pada klubnya dan sebaliknya. They always feel like at home when they play here.
Aremania,  loyalitas tanpa batas
Sayangnya, sepakbola kita ini masih salah urus. Alih-alih professional, dalam urusan pembayaran gaji saja masih telat berbulan-bulan. Padahal, bisa jadi lho transparansi dan pengelolaan liga dengan bagus (tentu saja tanpa melibatkan APBD) semakin menjadi nilai tambah pemain asing untuk main di skuad dalam negeri. Belum lagi kemungkinan adanya investor asing yang membeli saham klub, seperti yang sudah dilakukan ke Manchester City, Malaga, Liverpool, PSG, dan sebagainya. Dalam jangka lebih jauh lagi bisa menaikkan kualitas tim nasional kita, menaikkan Gross Domestic Product, menaikkan tax ratio, dan lain lain. Sekali dayung, beberapa benua terlampaui. Modernisasi industri sepakbola bergulir justru semakin melebar dari stadion, perebutan gelar sudah dimulai sejak laporan keuangan klub disusun. Tinggal kita bisa memanfaatkannya atau tidak, supaya Garuda bisa terbang tinggi lagi…..

Komentar

Postingan Populer