Big Mac Index dan Rupiah yang jadi tidak berharga di Swiss

            Salah satu benda bernilai abstrak yang sangat dekat dalam kehidupan kita sehari-hari adalah uang. Perkara mengingkari nilai uang memang mudah. Cara berpikirnya semudah mengajukan pertanyaan : ”Seberapa besarkah nilai 50 ribu rupiah itu? Apakah jumlah itu besar? Kecil? Sedang? Atau malah tidak bernilai sama sekali?” Beberapa pertanyaan tadi membawa saya ke hakikat uang yang sebenarnya yaitu alat tukar. Uang dinilai dari “kemampuan” uang tersebut untuk ditukar ke dalam wujud barang dan jasa. Dalam teori ekonomi, hal ini disebut Purchasing Power (Daya Beli). Uang dikatakan bernilai besar apabila dapat mewujudkan barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pemilik uang tersebut.


            Setelah mewujudkan hakikat uang sebagai alat tukar, maka nilai tukar akan menjadi soal selanjutnya. Apakah dengan jumlah uang yang sama kita mampu membeli barang  dan jasa yang sama di tempat berbeda? Dialog mengenai nilai tukar ini tak akan ada habisnya jika terus dibahas. Kita pasti bertanya-tanya dong, apakah US $ 1 itu emang pantas senilai dengan  Rp 9500,00? Apakah 1 Dollar bisa buat membeli jumlah barang yang sama baik di Amerika Serikat sana maupun di Indonesia? Kalau tidak, berarti nilai tukar Rupiah bisa dikatakan terlalu mahal atau terlalu murah dong?

            Ada sebuah teori ekonomi yang bernama Purchasing Power Parity, kalau diartikan berarti kesetaraan daya beli. Dalam teori ini, nilai uang diukur dengan harga yang diperlukan untuk mencetak barang atau jasa. Output from this measurement is that we can calculate our currency’s implicit exchange rate Menghitung nilai tukar mata uang kita yang “pantas”. Nah, saya menemukan diagram yang unik dari majalah The Economist. Berikut tabelnya, namanya: Big Mac Index



            Big Mac Index adalah implementasi Purchasing Power Parity tadi. Nilai tukar seharusnya setara dengan harga yang dikorbankan untuk mengonsumsi sekeranjang barang dan jasa. Dalam diagram di atas, “keranjang” yang dimaksud berisi sebuah hamburger “Big Mac”. Cukup masuk di akal jika memakai Big Mac sebagai representassi dan sarana kalkulasi. Terlebih karena Big Mac memiliki keseragaman yang tinggi (resepnya sama) di sebagian besar negara di dunia. Lucu kalo indikatornya memakai kopi tubruknya Mbok Nah, karena bakalan sulit ngitungnya antar negara. Dari kalkulasi nilai big mac di berbagai negara, kita bisa menghitung nilai tukar yang “pantas” tadi. Setidaknya secara teoritis.



            Dari tabel dan diagram di atas bisa diketahui negara mana saja yang nilai tukar mata uangnya kemahalan (karena mata uangnya terlalu kuat) dan kemurahan (karena mata uangnya lemah). Muaranya adalah kita bisa memperkirakan negara mana saja yang standar biaya hidupnya tinggi dan yang rendah tentunya.

            Setelah menggunakan indeks Big Mac, diketahui ternyata nilai tukar yang “pantas” adalah 1 US  $  = Rp. 5369,- Wow, ternyata satu dolar harusnya Cuma lima ribu rupiah lebih dikit. Setidaknya, itu kesimpulan yang ditarik jika mengacu Big Mac Index.

            Saya juga menandai negara mana saja menurut tabel di atas yang nilai tukar mata uangnya paling lemah (ongkos hidup termurah) yaitu India dan yang ongkos hidupnya paling mahal yaitu Swiss dan Norwegia. Selain bisa “meraba-raba” nilai tukar Rupiah, kita juga bisa memperkirakan bahwa rupiah kita ga ada apa-apanya kalo dibawa ke Swiss atau Norwegia. Bayangin aja, 1 big mac di negara itu seharga Rp. 62.000!!!!!! Walau gaji yang cukup di sini pun bisa jadi bakal kelaparan di sana. Meh. Maka, saya membayangkan enaknya jadi ekspatriat yang bekerja di Indonesia. Gaji mereka memakai standar internasional namun disuguhkan dengan ongkos hidup yang murah…..indahnya dunia….

            Oiya, last but not least, kalo mau jalan-jalan ke Eropa siapin uang yang banyak, daripada akhirnya malah pusing mbayarnya daripada nikmatin liburannya?? hehehe

Komentar

Postingan Populer